CHAPTER 6 : ALL I WANT IS YOU
Sudah
dua hari ini aku tidak mendengar kabar darinya. Kenapa laki-laki itu tidak
mengangkat teleponku, aku menggerutu dalam hati. Pikiran buruk melintas dalam
benakku. Apa dia marah padaku? Bagaimana kalau terjadi sesuatu padanya?
Bagaimana kalau aku tidak dapat bertemu dengannya lagi? Apa dia sudah
menyelesaikan tugasnya? Aku membaca buku itu sampai selesai, dan sejauh yang
aku tahu sudah hampir dua bulan aku mengenalnya. Itu berarti sudah tidak banyak
waktu yang dia miliki, dan kapan pun dia dapat meninggalkanku. Ah, Seandainya
saja dia tahu aku sangat mengkhawatirkannya, sesalku.
Aku
berpapasan dengannya saat keluar dari ruangan para pengajar. Aku melihatnya.
Dia balas memandangku. Aku terkejut melihatnya menggandeng tangan seorang gadis
yang tidak kukenal. Benakku bertanya-tanya, siapa perempuan itu? Mereka saling
bercengkrama, lalu dia memeluk gadis itu. Aku seperti berdiri terpaku. Aku
tidak tahu apa yang sedang terjadi. Seketika dadaku rasanya sesak. Aku berusaha
menahan air mataku. Jadi begini caramu. Aku mengkhawatirkanmu dan kau malah
bersenang-senang dengan gadis itu.
Setelah
itu dia kembali memandangku, dan aku melihat perasaan bersalah dalam tatapan
matanya. Aku berbalik dan beranjak pergi tanpa menghiraukannya sambil berharap
dia akan memanggil namaku. Tapi aku salah. Dia bukan Bobby, dan dia tidak
mencintaiku.
“Dimana
kunci mobilku?” Tanyaku mengejutkan Jennie, kemarin dia meminjam mobilku untuk
pergi bersama kekasihnya.
“Aku
meletakkannya di laci mejamu. Kau mau kemana?” Dia balas bertanya.
“Aku
perlu menenangkan pikiranku,” Aku melangkah pergi dengan keadaan sangat kacau. Bekas
air mata yang mengering masih tergambar jelas di pipiku. Banyak pikiran
berkecamuk dalam otakku. Ayah dan ibuku tidak akan mengijinkanku mengemudikan
mobil jika melihat keadaanku seperti ini. Tapi kurasa mereka akan baik-baik
saja, mereka baru akan tiba disini sore nanti.
***
Aku
melihatnya menangis. Aku tidak punya pilihan lain selain melihatnya menangis. Keputusanku
sudah bulat untuk tidak menyelesaikan tugasku. Rencanaku berbalik. Aku akan
membuat gadis itu membenciku, sehingga akan menjadi lebih mudah baginya untuk
melupakanku bila tiba-tiba aku harus meninggalkannya.
Sulit
rasanya melihat orang yang kau cintai terluka karena sikapmu terhadapnya. Aku menyukainya,
aku menyukai gadis itu. Tapi aku harus menahan egoku, meskipun aku menyesal
telah menyakitinya.
Telepon
genggamku tiba-tiba berdering. Aku mengangkat teleponku dan mendengar suara seorang
perempuan yang berbicara sambil menangis tersedu-sedu. Jennie.
***
Langkah
kakiku semakin lama semakin cepat saat aku menyusuri lorong rumah sakit ini. Beberapa
kali aku bertanya untuk memastikan aku berada di lorong yang tepat. Sesampainya
aku di depan sebuah ruangan bertuliskan “Emergency
Room”, aku disambut dengan sebuah ketegangan yang belum dapat kupahami. Aku
melihat Jennie sedang menangis di sudut ruang tunggu, dan sepasang pria dan
wanita sedang tertunduk lesu menantikan kabar baik dari dalam ruangan itu.
Mereka pasti orang tua Nana.
“Apa
yang terjadi? Bagaimana dia bisa...?” Aku berusaha bertanya apa yang terjadi. Tetapi
tak seorangpun dapat memberikanku jawaban.
Aku
berjalan mondar-mandir tak tentu arah. Aku tak ingin kehilangan dia, bukan
begini yang seharusnya terjadi, aku memaki diriku sendiri.
Seorang
dokter yang masih menggunakan pakaian operasi keluar dari ruangan dan menemui
kami.
“Keadaannya
kurang baik, dia mengalami cedera kepala yang cukup parah serta mengalami
kesulitan bernapas. Kalau dia dapat bertahan dua atau tiga hari lagi, masih ada
kemungkinan dia akan selamat.”
Pasti,
dia pasti dapat bertahan, kataku dalam hati. Aku tidak dapat membayangkan
kehilangan dia.
Dua
hari berlalu dan aku masih terus menunggunya, aku masih menunggunya untuk dapat
berbicara lagi denganku, menunggu untuk melihat senyumannya, dan menunggu waktu
yang tepat untuk meninggalkannya.
“Dia
ingin berbicara denganmu,” Jennie menyuruhku masuk. “Berjanjilah padaku, kau akan
memperlakukannya dengan baik.”
Aku
mengangguk dan beranjak memasuki sebuah ruangan. Aku tiba disebuah ruang perawatan
intensif dan menghentikan langkahku tepat di samping tempat tidurnya. Aku melihat
wajahnya dengan dahi dibalut perban. Aku melihat selang-selang yang terpasang
pada tubuhnya. Serta sebuah monitor yang menampilkan detak jantungnya. Dia
memandangku sambil tersenyum. Aku tidak mampu berkata-kata, berulang kali aku hanya
mengucapkan kata maaf dan mengatakan aku mencintainya.
“Siapa namamu?” Tanyanya dengan suara nyaris tak terdengar.
Aku hanya tertunduk dan tidak menjawab saat dia melanjutkan
pertanyaannya,
“Aku tidak bertanya siapa kau, apakah kau seorang impersonator, aku bertanya siapa namamu.”
Aku sangat terkejut dengan pertanyaannya namun
akhirnya aku menjawab, “Minho, namaku Song Min Ho.”
“Akhirnya aku tahu namamu. Setidaknya aku akan dapat
mengingatmu saat kau tidak ada,” Sahutnya sambil tersenyum.
Kata-katanya membuat air mataku tak terbendung lagi.
Dia tahu siapa aku, tapi sejak kapan, dan kenapa dia tidak mengatakan apa-apa.
“Apa yang dapat kulakukan untuk membantumu?” Nana
bertanya lagi.
“Kau tidak perlu melakukan apa-apa. Tapi.. apa kau
mau menikah denganku?”
Nana menatapku. Aku tahu ini tiba-tiba, tetapi aku
ingin melamarnya, bukan untuk Bobby tetapi untuk diriku sendiri.
“Ya, Aku mau. Aku menyukaimu, Song Minho.”
Bersamaan dengan kata-kata terakhirnya, detak
jantungnya tak terdengar lagi. Para dokter dan perawat berlarian berpacu dengan
waktu untuk menyelamatkannya.
“Apa
yang kau lakukan pada Nana? Kenapa kau melakukan ini? Kenapa kau membiarkannya
pergi? Aku tidak ingin melihatmu lagi!”
Kemarahan
mereka mengusirku dari ruangan itu. Aku berjalan keluar lorong rumah sakit
dengan perasaan sangat sedih. Setiap langkah yang kuambil terasa goyah. Aku
tidak menyangka Nana tahu sebanyak ini tentangku, dan dia menyukaiku. Aku
menyesal. Tetapi semua sudah terlambat. Aku mungkin akan kehilangan dia
selamanya.
***
Sudah
satu hari aku mengurung diri dalam kamarku. Aku membereskan semua
barang-barangku. Semua peralatan elektronik, buku-buku, sampai telepon genggam dan
dompet yang biasa kugunakan. Aku berniat menyingkirkan semua kenangan tentangku
dari tempat ini.
Sambil
membersihkan semuanya, aku menemukan selembar foto. Fotoku bersama Nana.
Mungkin ini satu-satunya foto kami bersama. Aku tidak akan pernah melupakannya,
meskipun dia telah meninggalkanku. Ya, kemarin aku mendapat pesan singkat kalau
dia telah pergi untuk selamanya. Hatiku hancur mendengarnya.
Dan sekarang sudah waktunya bagiku untuk meninggalkan tempat
ini.