Friday, January 16, 2015

FF - Falling For Your Soul - Chapter 8 (END)

CHAPTER 8 : EPILOG


Seoul Medical Centre, South Korea. Lima tahun yang lalu...
Aku memandang tubuhku terbaring di atas sebuah bangsal rumah sakit.
Aku memandang kedua orang tua ku tertunduk lesu meratapi nasibku.
Aku memandang para dokter yang sedang berusaha keras menolongku. 
Aku mendengar isak tangis sahabat-sahabatku.
Aku mendengar suara detak jantungku dari monitor yang terpasang disamping tempat tidurku.
Namun aku tidak merasakan apa-apa. Karena sekarang aku hanyalah sebuah jiwa, tanpa tubuh.
Kau tidak pernah tahu apa yang sebuah jiwa lakukan setelah ia terlepas dari tubuhnya, tapi aku tahu. 

Namaku Song Minho. Tepat satu bulan yang lalu adalah hari yang akan selalu ku kenang. Saat pertama kali aku mulai berjuang untuk mengembalikan jiwaku ke dalam tubuhku. 

Apa kau percaya dengan takdir? Bagaimana kalau kau diberi kesempatan untuk merubah takdirmu? Bagaimana kalau kau menolak untuk mati? Kau dapat melakukannya, atau lebih tepatnya sekarang aku sedang mencobanya. 

Perjalanan panjang menanti di hadapanku. Selama lima tahun kedepan aku bertugas untuk menolong orang-orang yang membutuhkanku. Aku rela melakukannya hanya untuk membuktikan bahwa aku bukanlah orang yang tidak layak hidup. Aku layak mendapatkan hidupku kembali.

***

Sudah satu bulan sejak aku terbangun dari tidur panjangku. Meskipun masih ada pemulihan panjang yang harus ku jalani, kondisiku sudah jauh lebih baik. Aku sudah mulai diperbolehkan berjalan diatas kakiku sendiri dan menikmati aktivitasku seperti dulu.  Kecelakaan itu benar-benar telah merubah hidupku, dan cara pandangku tentang dunia. Bisa dikatakan aku mendapatkan pengalaman buruk dan pengalaman berharga sekaligus.
 
Aku berhasil menyelesaikan tugasku. Aku berhasil mendapatkan hidupku kembali. Menyenangkan rasanya dapat kembali menghirup nafas kehidupan. Aku merindukan keluargaku, aku merindukan sahabat-sahabatku, aku merindukan berada dalam rumahku, dan terlebih lagi aku merindukan gadis itu. Nana.

Aku tidak membutuhkan waktu lama untuk berpikir hingga aku memutuskan untuk melanjutkan studiku di London Arts Academy. Orang tuaku langsung menyetujui, mereka akan menuruti semua permintaanku, meskipun mereka memasang wajah tidak mengerti. Aku tahu alasannya : kami bukan berasal dari keluarga pemusik ataupun keluarga pecinta seni. 

Jadi? Apa yang akan kulakukan disana? Jawabanku sangat sederhana : Aku akan menikmati hidupku.  
 THE END

Wednesday, January 14, 2015

FF - Falling For Your Soul - Chapter 7


CHAPTER 7 : AWAKENED

Seoul, Korea Selatan.
“Minho! Minho! Apa kau dapat mendengarku?” Sebuah suara memanggilku saat aku baru membuka mataku.
“Syukurlah kau sudah sadar.”
“Apa yang terjadi? Dimana aku?”
“Tenanglah, kau akan baik-baik saja.”
“Dia tersadar dari tidur panjangnya selama lebih dari lima tahun, dia laki-laki yang luar biasa.”
Aku tersenyum sambil memandang orang-orang disekelilingku, namun pandanganku kembali kabur dan aku kembali jatuh tertidur.
***
London, Inggris. Satu tahun kemudian..
“Oh yeah, this is the one and only Song Minho! Congratulations, bud, you get that full scholarship. I envy you.”
“Haha, thanks! And I envy you for your girlfriend.”
“Don’t you dare!”
“I’m just kidding. I have another place to go. See you later.”
Aku berjalan meninggalkan papan pengumuman yang menampilkan namaku sebagai penerima beasiswa penuh institusi ini untuk dua tahun kedepan dan segera menuju tempat favoritku.

Aku memandang anak tangga dihadapanku, setelah berjalan beberapa menit akhirnya aku tiba di depan sebuah pintu. Aku membuka pintu di hadapanku dan tampak sebuah ruang terbuka yang cukup luas. Dari tempat ini kau dapat memperhatikan lingkungan disekitarmu dengan leluasa. Ya, kau dapat melakukannya, sama seperti yang kulakukan satu tahun yang lalu, aku memandang gadis itu dari tempat ini. Dan sekarang aku telah kembali kesini. Nana, aku sangat merindukanmu, apa kau juga merindukanku? Tanyaku dalam hati.

Suara dentingan piano menyadarkanku dari lamunan panjangku. Aku terdiam sejenak dan akhirnya memutuskan untuk kembali sambil mencari sumber suara itu.

Sebuah ruang kecil disamping gedung pertunjukan utama masih tertata dengan rapi. Cat di dindingnya, perabotan di dalamnya, dan sebuah piano tua yang masih menghasilkan suara yang merdu, masih persis sama seperti dalam ingatanku satu tahun yang lalu. 

Lalu aku melihat gadis itu sedang duduk di depan piano. Jari-jari lincahnya berlarian kesana kemari di atas tuts-tuts piano. Senyum tersungging di wajahnya. Nana. Gadis itu ada disini. Aku tidak mempercayai penglihatanku sendiri. Aku menatapnya, sesaat dia tersadar dan berbalik menatapku. Mata kami bertemu. Ada keheningan yang seketika tercipta.

“Oh sorry, do I know you?” Tanyanya memecah keheningan.
“Nana?” Aku balik bertanya.
“Ya, dan kau..?”
“Sudah berapa lama kau ada disini? Berapa lama lagi waktu yang kau punya?” Aku bertanya untuk memastikan kalau-kalau dia seorang impersonator sepertiku dulu.
“Tunggu! Kau bisa berbahasa Korea? Siapa kau? Apa maksudmu? Kau mahasiswa baru? Aku sudah disini jauh lebih lama dari...”
Aku mengenal ekspresi itu. Ekspresi yang selalu penuh tanya. Sebelum ia sempat menyelesaikan kata-katanya, aku mendekat dan memeluknya erat.

“Minho?.. Song.. Minho?” Tanyanya ragu-ragu.

Aku menjawab dengan anggukan. Dia masih mengingatku sama seperti aku mengingatnya.

“Tapi bagaimana mungkin? Kau masih hidup?” Nana memandangku dengan tatapan tidak percaya.
“Aku juga ingin menanyakan hal yang sama padamu.”

Untuk sesaat kami melupakan apa yang telah terjadi, kami berpelukan erat untuk melepas kerinduan yang telah lama ada. 

“Apa kau ingin aku menceritakan kisahku?” Tanyaku, “Baiklah, tapi kau harus berjanji kau tidak akan berteriak ketakutan, ataupun jatuh pingsan saat mendengarnya.” Aku tersenyum menggodanya.

“Mudah saja, aku tidak akan memercayaimu kalau menurutku ceritamu tidak masuk akal.” Nana berbalik menggodaku dengan senyumnya. Aku tidak merasa keberatan sama sekali.

Selama satu hari penuh kami saling bercanda sambil bertukar cerita. Dimulai dari apa yang terjadi satu tahun yang lalu, hingga saat ini.
“Jadi, Orangtuaku menyuruh Jennie memberitahumu aku sudah meninggal agar kau tidak mencariku lagi?” Matanya terbelalak tidak percaya.
“Hanya itu kemungkinan yang dapat kupikirkan, kecuali.. kau memang tidak ingin bertemu denganku lagi.” Aku menatapnya.
“Kau tahu itu tidak mungkin,” Nana mencubitku sambil tertawa. “Oh ya, dan menurutku kau.. tidak seburuk yang kuduga.”
“Apa maksudmu? Kau mau mengatakan aku buruk rupa?”
“Tidak, tidak, maksudku..”
Aku mencium bibirnya sebelum dia sempat menyelesaikan kata-katanya. Dan sekarang aku menyiapkan telingaku untuk mendengarkan makiannya.
THE END

FF - Falling For Your Soul - Chapter 6



CHAPTER 6 : ALL I WANT IS YOU
Sudah dua hari ini aku tidak mendengar kabar darinya. Kenapa laki-laki itu tidak mengangkat teleponku, aku menggerutu dalam hati. Pikiran buruk melintas dalam benakku. Apa dia marah padaku? Bagaimana kalau terjadi sesuatu padanya? Bagaimana kalau aku tidak dapat bertemu dengannya lagi? Apa dia sudah menyelesaikan tugasnya? Aku membaca buku itu sampai selesai, dan sejauh yang aku tahu sudah hampir dua bulan aku mengenalnya. Itu berarti sudah tidak banyak waktu yang dia miliki, dan kapan pun dia dapat meninggalkanku. Ah, Seandainya saja dia tahu aku sangat mengkhawatirkannya, sesalku.

Aku berpapasan dengannya saat keluar dari ruangan para pengajar. Aku melihatnya. Dia balas memandangku. Aku terkejut melihatnya menggandeng tangan seorang gadis yang tidak kukenal. Benakku bertanya-tanya, siapa perempuan itu? Mereka saling bercengkrama, lalu dia memeluk gadis itu. Aku seperti berdiri terpaku. Aku tidak tahu apa yang sedang terjadi. Seketika dadaku rasanya sesak. Aku berusaha menahan air mataku. Jadi begini caramu. Aku mengkhawatirkanmu dan kau malah bersenang-senang dengan gadis itu. 

Setelah itu dia kembali memandangku, dan aku melihat perasaan bersalah dalam tatapan matanya. Aku berbalik dan beranjak pergi tanpa menghiraukannya sambil berharap dia akan memanggil namaku. Tapi aku salah. Dia bukan Bobby, dan dia tidak mencintaiku.

“Dimana kunci mobilku?” Tanyaku mengejutkan Jennie, kemarin dia meminjam mobilku untuk pergi bersama kekasihnya.
“Aku meletakkannya di laci mejamu. Kau mau kemana?” Dia balas bertanya.
“Aku perlu menenangkan pikiranku,” Aku melangkah pergi dengan keadaan sangat kacau. Bekas air mata yang mengering masih tergambar jelas di pipiku. Banyak pikiran berkecamuk dalam otakku. Ayah dan ibuku tidak akan mengijinkanku mengemudikan mobil jika melihat keadaanku seperti ini. Tapi kurasa mereka akan baik-baik saja, mereka baru akan tiba disini sore nanti.

***

Aku melihatnya menangis. Aku tidak punya pilihan lain selain melihatnya menangis. Keputusanku sudah bulat untuk tidak menyelesaikan tugasku. Rencanaku berbalik. Aku akan membuat gadis itu membenciku, sehingga akan menjadi lebih mudah baginya untuk melupakanku bila tiba-tiba aku harus meninggalkannya.

Sulit rasanya melihat orang yang kau cintai terluka karena sikapmu terhadapnya. Aku menyukainya, aku menyukai gadis itu. Tapi aku harus menahan egoku, meskipun aku menyesal telah menyakitinya.

Telepon genggamku tiba-tiba berdering. Aku mengangkat teleponku dan mendengar suara seorang perempuan yang berbicara sambil menangis tersedu-sedu. Jennie. 

***
Langkah kakiku semakin lama semakin cepat saat aku menyusuri lorong rumah sakit ini. Beberapa kali aku bertanya untuk memastikan aku berada di lorong yang tepat. Sesampainya aku di depan sebuah ruangan bertuliskan “Emergency Room”, aku disambut dengan sebuah ketegangan yang belum dapat kupahami. Aku melihat Jennie sedang menangis di sudut ruang tunggu, dan sepasang pria dan wanita sedang tertunduk lesu menantikan kabar baik dari dalam ruangan itu. Mereka pasti orang tua Nana.

“Apa yang terjadi? Bagaimana dia bisa...?” Aku berusaha bertanya apa yang terjadi. Tetapi tak seorangpun dapat memberikanku jawaban. 

Aku berjalan mondar-mandir tak tentu arah. Aku tak ingin kehilangan dia, bukan begini yang seharusnya terjadi, aku memaki diriku sendiri.

Seorang dokter yang masih menggunakan pakaian operasi keluar dari ruangan dan menemui kami.

“Keadaannya kurang baik, dia mengalami cedera kepala yang cukup parah serta mengalami kesulitan bernapas. Kalau dia dapat bertahan dua atau tiga hari lagi, masih ada kemungkinan dia akan selamat.”

Pasti, dia pasti dapat bertahan, kataku dalam hati. Aku tidak dapat membayangkan kehilangan dia. 

Dua hari berlalu dan aku masih terus menunggunya, aku masih menunggunya untuk dapat berbicara lagi denganku, menunggu untuk melihat senyumannya, dan menunggu waktu yang tepat untuk meninggalkannya.

“Dia ingin berbicara denganmu,” Jennie menyuruhku masuk. “Berjanjilah padaku, kau akan memperlakukannya dengan baik.”

Aku mengangguk dan beranjak memasuki sebuah ruangan. Aku tiba disebuah ruang perawatan intensif dan menghentikan langkahku tepat di samping tempat tidurnya. Aku melihat wajahnya dengan dahi dibalut perban. Aku melihat selang-selang yang terpasang pada tubuhnya. Serta sebuah monitor yang menampilkan detak jantungnya. Dia memandangku sambil tersenyum. Aku tidak mampu berkata-kata, berulang kali aku hanya mengucapkan kata maaf dan mengatakan aku mencintainya. 

“Siapa namamu?” Tanyanya dengan suara nyaris tak terdengar.
Aku hanya tertunduk dan tidak menjawab saat dia melanjutkan pertanyaannya,
“Aku tidak bertanya siapa kau, apakah kau seorang impersonator, aku bertanya siapa namamu.”
Aku sangat terkejut dengan pertanyaannya namun akhirnya aku menjawab, “Minho, namaku Song Min Ho.”
“Akhirnya aku tahu namamu. Setidaknya aku akan dapat mengingatmu saat kau tidak ada,” Sahutnya sambil tersenyum.
Kata-katanya membuat air mataku tak terbendung lagi. Dia tahu siapa aku, tapi sejak kapan, dan kenapa dia tidak mengatakan apa-apa.
“Apa yang dapat kulakukan untuk membantumu?” Nana bertanya lagi.
“Kau tidak perlu melakukan apa-apa. Tapi.. apa kau mau menikah denganku?”
Nana menatapku. Aku tahu ini tiba-tiba, tetapi aku ingin melamarnya, bukan untuk Bobby tetapi untuk diriku sendiri.
“Ya, Aku mau. Aku menyukaimu, Song Minho.”
Bersamaan dengan kata-kata terakhirnya, detak jantungnya tak terdengar lagi. Para dokter dan perawat berlarian berpacu dengan waktu untuk menyelamatkannya. 

“Apa yang kau lakukan pada Nana? Kenapa kau melakukan ini? Kenapa kau membiarkannya pergi? Aku tidak ingin melihatmu lagi!” 

Kemarahan mereka mengusirku dari ruangan itu. Aku berjalan keluar lorong rumah sakit dengan perasaan sangat sedih. Setiap langkah yang kuambil terasa goyah. Aku tidak menyangka Nana tahu sebanyak ini tentangku, dan dia menyukaiku. Aku menyesal. Tetapi semua sudah terlambat. Aku mungkin akan kehilangan dia selamanya.

***

Sudah satu hari aku mengurung diri dalam kamarku. Aku membereskan semua barang-barangku. Semua peralatan elektronik, buku-buku, sampai telepon genggam dan dompet yang biasa kugunakan. Aku berniat menyingkirkan semua kenangan tentangku dari tempat ini. 

Sambil membersihkan semuanya, aku menemukan selembar foto. Fotoku bersama Nana. Mungkin ini satu-satunya foto kami bersama. Aku tidak akan pernah melupakannya, meskipun dia telah meninggalkanku. Ya, kemarin aku mendapat pesan singkat kalau dia telah pergi untuk selamanya. Hatiku hancur mendengarnya. 

Dan sekarang sudah waktunya bagiku untuk meninggalkan tempat ini.